KOMPAS.com - Pada awal tahun, banyak pihak yang menilai tahun 2009 bukan tahun yang cerah bagi bisnis properti rumah tinggal. Krisis ekonomi global menggerus daya beli dan kepercayaan masyarakat. Hal ini diperburuk oleh suku bunga yang tetap tinggi. Namun, memasuki pertengahan 2009, muncul sinyal positif.
Memiliki rumah sebagai tempat tinggal merupakan dambaan setiap keluarga. Kepemilikannya dapat dicapai dengan membangun, atau membelinya dari pengembang perumahan. Mengingat jumlah keluarga yang terus bertambah, kebutuhan akan rumah masih akan terus meningkat. Artinya, sektor ini akan tetap menjadi lahan emas bagi pihak pengembang. Namun, krisis ekonomi yang mengikis daya beli konsumen dicemaskan banyak pihak akan memengaruhi pembelian rumah pada masa mendatang.
Kondisi ini diperkuat dengan adanya pelambatan pertumbuhan pembelian rumah, yang terasa sejak akhir tahun silam. Melambatnya pembelian rumah dapat dilihat dari tren pelambatan pertumbuhan kredit pemilikan rumah mengingat sebagian besar konsumen rumah (rata-rata 70 persen) memanfaatkan fasilitas KPR untuk transaksi pembelian rumahnya. Pertumbuhan KPR melambat dari 37,1 persen Agustus 2008 menjadi 30,3 persen pada Desember 2008. Pada saat itu, suku bunga KPR ada pada level rata-rata 14 persen.
Pelambatan ini hingga triwulanII-2009, di mana pertumbuhan nilai KPR perbankan per Mei 2009 hanya 16,5 persen (sekitar Rp 127,1 triliun), lebih lambat dari pertumbuhan tahun 2008 sebesar 34,9 persen. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran akan meredupnya prospek sektor perumahan di Indonesia.
Kenaikan harga
Properti residensial tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga investasi karena harga rumah terus naik. Hal ini tecermin dari hasil survei Bank Indonesia tentang pergerakan indeks harga properti residensial. IHPS tumbuh dari 4,2 persen triwulan IV-2007 menjadi 5,8 persen triwulan IV-2008.
Berdasarkan tipe, rumah bertipe kecil mencatat kenaikan IHPS terbesar, yaitu 3,9 persen menjadi 6,9 persen. IHPS rumah bertipe menengah naik dari 5,6 persen menjadi 6,2 persen, dan IHPS rumah bertipe besar naik dari 3,3 persen menjadi 4,2 persen. Namun, memasuki tahun 2009, kenaikan IHPS cenderung melambat. IHPS triwulan I-2009 tumbuh dari 4,5 persen menjadi 3,1 persen pada triwulan II-2009.
Salah satu kontribusi melambatnya kenaikan harga perumahan awal tahun 2009, adalah melandainya harga komoditas dan material, seperti semen dan besi. Melambungnya harga minyak dunia dan komoditas ditengarai telah mendongkrak harga semen sepanjang tahun 2008. Kala itu, harga rata- rata semen naik 23 persen, tetapi pada tahun 2009 kenaikannya melambat hanya 14 persen.
Hal senada juga terjadi pada komponen material besi. Indeks harga besi dunia, yang merupakan salah satu acuan pergerakan harga besi global, menunjukkan bahwa pertumbuhan harga besi internasional berkontraksi dari 33,4 persen Oktober 2008 menjadi minus 49,6 persen Juli 2009. Hingga akhir 2009, harga besi diprediksi naik meskipun dengan pertumbuhan yang cenderung lambat.
Rencana beli
Melambatnya kenaikan harga rumah pada semester pertama tahun ini berpotensi merangsang minat beli konsumen. Apalagi keyakinan mereka terhadap pemulihan ekonomi nasional juga semakin membaik. Keyakinan ini tecermin pada naiknya Indeks Kepercayaan Konsumen Danareksa Research Institute Juli 2009. IKK DRI kembali meroket dari level 89,4 menjadi level 92,4 (naik 3,3 persen), rekor tertinggi empat tahun terakhir. Sinyal positif yang menandakan semakin optimistisnya konsumen terhadap kondisi perekonomian, prospek pendapatan, dan ketersediaan lapangan kerja di Indonesia.
Indikator lain untuk melihat perubahan rencana konsumen membeli rumah adalah indeks rencana pembelian rumah. IRPR berguna mengukur proporsi rumah tangga yang merencanakan pembelian rumah enam bulan nanti. Perubahan proporsi rumah tangga atas rencana pembelian rumah bermanfaat melihat kecenderungan realisasi belanja rumah tangga mendatang.
Seiring naiknya keyakinan rumah tangga pada pemulihan ekonomi, IRPR juga menunjukkan peningkatan. Turunnya suku bunga acuan mendorong IRPR cenderung naik. IRPR Juni 2009 bahkan telah naik hingga 77 persen sejak September 2008. Keputusan Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan mendorong ekspektasi konsumen pada luruhnya bunga kredit perumahan. Namun, IRRP kembali melemah Juli 2009 sebesar 22 persen, meskipun IKK kembali menguat. Di sini terlihat bahwa konsumen masih menunggu realisasi penurunan suku bunga kredit.
DRI juga mengembangkan komponen leading indicator untuk melihat prospek ekonomi dan properti Indonesia pada masa depan, yaitu Building Permit Index (BP). BP adalah indeks yang disusun berdasarkan jumlah penerbitan izin pembangunan properti baru. Naiknya BP mengindikasikan prospek meningkatnya penyediaan rumah baru.
Seiring tekanan perekonomian global, BP sempat turun sejak pertengahan tahun 2008. BP meluncur tajam dari level 78,8 (April 2008) ke level 66,5 (September 2008). Ketika suku bunga naik dari 8 persen menjadi 9,25 persen, BP cenderung turun. Hal ini menunjukkan adanya pelambatan tambahan izin pembangunan rumah baru di Indonesia. Pada saat ekonomi melambat dan suku bunga naik, para pengembang dan rumah tangga cenderung menunda pengajuan izin membangun karena ekspektasi makin mahalnya biaya pendanaan mereka.
Namun, memasuki kuartal II-2009, seiring agresifnya penurunan BI Rate, BP kembali naik. BP naik dari level 70,9 (Desember 2008) ke level 76,1 (Maret 2009) Indikasi positif pemulihan di pasar perumahan. Kenaikan BP, selain sinyal membaiknya prospek perumahan pada masa depan juga indikasi prospek bergeraknya roda ekonomi pada masa datang. Hal ini berhubungan naiknya konsumsi barang-barang, seperti material bangunan, furnitur, serta perlengkapan rumah lainnya, yang berdampak positif bagi perekonomian secara menyeluruh.
Dari sejumlah indikator di atas, jelas terlihat bahwa sektor properti nasional masih mempunyai modal cukup untuk tetap optimistis. Modal itu datang dari optimisme konsumen pada keadaan perekonomian, menanjaknya minat beli konsumen akan rumah, serta prospek pembangunan rumah baru yang tinggi, yang akan menggenjot perputaran ekonomi.
Ketika konsumen merasa kondisi ekonomi dan pendapatannya kian baik, rencana pembelian rumah pun cenderung naik. Hal ini wajar mengingat keputusan membeli rumah, terlebih melalui KPR, membutuhkan perencanaan matang, yang akan memengaruhi ekspektasi pendapatan dan konsumsi mereka ke depan.
Tentunya optimisme tersebut hanya isapan jempol, tanpa adanya katalis kebijakan dan dukungan banyak pihak, seperti kelonggaran kredit, dan percepatan realisasi turunnya suku bunga kredit. Belakangan ini beberapa bank sepakat untuk menurunkan suku bunga simpanan. Diharapkan kebijakan ini akan memicu turunnya suku bunga pinjaman, termasuk KPR. Tanpa hal tersebut, optimisme di sektor properti residensial dapat sirna. Konsumen akan menunda realisasi pembelian rumahnya.